Agen
perubahan atau agent of change adalah individu atau kelompok individu
yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan atau
mempercepat perubahan sosial, budaya, atau perilaku. Didalam
blog ini, menurut diri saya pribadi agen perubahan yang saya panuti adalah
paman saya sendiri yang menjabat sebagai Direktur Utama Pelindo III yaitu Ir.
Djarwo Surjanto, Dipl. HE. Si.
Beliau merupakan Alumni Teknik Sipil ITB lulusan tahun 1977
serta Pascasarjana (S2) jurusan Hydraulic Engineering dari IHE-Delft, Belanda
(1980) ini memiliki perjalanan karir yang cemerlang. Merintis karir dari bawah,
pada usia 29 tahun, lelaki kelahiran Bandung 12 November 1952 ini sudah
dipercaya menjadi kepala Divisi Teknik dengan 80 orang staff dan 50 orang crew
kapal. Sebuah pencapaian yang sangat cepat, jarang orang bisa mencapainya dalam
lingkup kerjanya saat itu. Karena prestasi kinerja dan semangatnya yang selalu
ingin mengerjakan lebih baik dari orang lain pula, kemudian beliau diberi
kepercayaan untuk ditempatkan berbagai posisi penting di Pelindo diantaranya:
1. Kepala Bagian Perencanaan dan Pengembangan Pelindo IV
2. Direktur Teknik Pelindo III (1995-2002)
3. Direktur Utama Pelindo IV (2002-2009)
4. Direktur Utama Pelindo III sejak tahun 2009 hingga saat ini
5. Komisaris Utama PT Terminal Petikemas Surabaya (anak
perusahaan Pelindo III)
Kepada saya, beliau berbagi kisahnya memimpin BUMN pelabuhan yang
berbasis di Surabaya ini. Berikut petikannya:
Bisa dijelaskan proyek apa saja yang tengah dikerjakan?
Ada Terminal Multipurpose Teluk Lamong. Saat ini Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya sudah kekurangan fasilitas, terutama peti kemas dan angkutan pelayaran
kapal curah kering dan cair. Maka kami bangun Teluk Lamong. Pada tahap
pertama kami bangun dermaga 1.000 meter, lalu reklamasi pulau di tengah laut
seluas 20 hektare. Pulau ini jauhnya 4 km dari daratan. Seluruh tahapan
mencapai 380 hektare, dermaga 2.500 m2. Kalau jadi semua, hasilnya sama atau
lebih besar dari Pelabuhan Perak Surabaya sekarang. Target luas 380
hektare dan dermaga 2.500 m2 itu tuntas 2018-2020. Kalau tahap pertama yang 20
hektare itu April 2014 sudah operasi, tapi pembangunan jalan terus sampai 380
hektare. Proyek ini untuk memenuhi pertumbuhan ekonomi yang ada saat ini.
Pertumbuhan ekonomi Jatim paling tinggi jadi demand-nya tinggi sekali. Ada
lagi proyek terminal baru di Manyar, Gresik. Ini lebih besar lagi skalanya. Proyek
ini terdiri dari kawasan pelabuhan 400 hektare, lalu kawasan industri 2.500
hektare, dan residensial 500 hektare. Proyek ini dikerjakan bersama dengan
mitra strategis.
Sebenarnya apa ‘mimpi’ dalam proyek-proyek ini?
Ini akan mengefisienkan logistik karena pelabuhan lokasinya nanti
berjejer dengan kawasan industri. Nggak seperti sekarang, misalnya kawasan
industri Karawang lalu pelabuhannya ada di Tanjung Priok.
Apa kunci mendapatkan dukungan mitra strategis?
Pertama, saya terbuka. Kedua, kesetaraan. Jadi nggak ingin menang
sendiri. Artinya begini, saya bilang, “Anda beruntung partner-an dengan kami,
BUMN, ‘punya fasilitas’ juga, ayo kita duduk sama-sama agar bisnis
menguntungkan demi Merah Putih.” Seperti proyek di Manyar. Bulan lalu
diberitakan Indonesia kekurangan kawasan industri. Kami beri solusi bukan lagi
200 hektare-300 hektare tapi ini 2.500 hektare.
Ada tugas yang belum tuntas?
Saya sudah tahun keempat. Pekerjaan rumah saya agar 1 tahun ini, hal-hal
prinsip bisa selesai. Hal prinsip maksudnya perizinan proyek sudah harus
selesai, perencanaan semua selesai. Kemudian basic-nya seperti infrastruktur,
jalan, dan listrik. Jadi direksi lain, tinggal mengembangkan. Proyek Lamong,
saya harapkan selesai, dilanjutkan tahap kedua. Adapun Manyar saya harapkan
jalan masuk selesai, lalu perkavlingannya selesai sehingga pertengahan 2014
industri yang mau memakai sudah bisa membangun.
Bagaimana perjalanan Anda sampai ke puncak karier?
By education. Saya sarjana teknik sipil. Saya masuk Dephub sebagai
insinyur sipil sehingga mulai dari pekerjaan teknis, bikin desain dermaga,
evaluasi desain dermaga, bikin desain gudang, jalan, mulai dari situ lalu
pelan-pelan naik naik jadi kepala divisi teknis. Setelah itu nyerempet ke
bidang lain waktu menjadi kepala bagian perencanaan dan pengembangan pelabuhan.
Pada posisi itu saya bukan bicara perencanaan teknis lagi tapi perencanaan
bisnis. Saya mulai belajar bisnis pelabuhan, bagaimana agar bagus,
profitable. Bagaimana supaya pelanggan puas, jadi tidak semata-mata teknis.
Saya di Jakarta cuma 1 tahun di Perhubungan Laut sampai 1977, 1978 saya pindah
ke Medan jadi staf BPP Belawan.
Selama perjalanan karier, apa yang paling berkesan?
Saya banyak bertugas di daerah terpencil, mengatasi problem dengan
sumber daya tersedia. Suatu saat kami bangun dermaga di Tolitoli pada
1988, bukan Tolitoli seperti sekarang ini. Supaya bisa dirapati kapal Pelni
sehingga penumpang bisa langsung turun ke dermaga. Sebelumnya mereka turun
pakai sampan ke darat, saat ada ombak, banyak barang jatuh ke laut. Proyek
itu dapat pinjaman dari ADB. Standar teknisnya tinggi. Saya harus bangun
dermaga dengan karakterisktik beton K-400. Itu nggak gampang. Akhirnya saya
dapat formulasi, istilahnya campuran kering supaya kekuatannya maksimal.
Di Pelindo III, perkembangan apa yang sudah dicapai?
Tugas pertama saya di sini membangkitkan semangat teman-teman agar mau
fight, bukan asal bekerja. Rasanya sekarang suasananya itu sudah terbentuk,
sudah semangat kerja nggak hanya masuk pukul 8 pulang pukul 5 sore. Kalau
ke kantor saya di Surabaya, itu pukul 7 malam masih ada yang kerja.
Kedua, untuk apa? Saya sadar pelayanan Pelindo III kepada masyarakat itu jauh
dari memuaskan. Contoh, fasilitas masih kekurangan. Nah, ini bagaimana dengan
waktu singkat bisa ditutupi, kami bangun fasilitas baru, fasilitas lama kami
buat produktivitas meningkat. Alhamdulillah, rasanya ada hasil.
Bagaimana cara membangkitkan semangat?
Kasih contoh. Saya juga harus kerja keras. Harus bersama-sama mereka.
Sabtu pun saya masuk, pergi ke proyek sama mereka. Kita ini masih
paternalistik. Kalau kasih contoh, otomatis ngikut, nggak mungkin nyuruh lalu
ongkang-ongkang kaki.
Pernah kebijakan Anda yang ditentang karyawan? Apa?
Karyawan yang nggak bisa mengikuti akan tertinggal. Saya mengangkat
pejabat bukan melihat senioritas, tapi berdasarkan kemampuannya. Walaupun muda,
tapi punya prestasi dan berani, saya angkat. Itu dilakukan, banyak GM yang
muda-muda, 40-an tahun. Keputusan mendasar dan prinsip itu nggak langsung
dilakukan, tapi melalui penjajakan. Kami punya namanya serikat pekerja, bicara
dulu dengan pengurus. Apa alasan dan manfaatnya tapi umumnya selalu bisa kami
yakinkan. Ada yang bertanya, kami juga nggak berkukuh. Akhirnya kebijakan
itu belum kami keluarkan. Misalnya kami menyadari ada kebutuhan yang meningkat
tetapi kemampuan dalam menyediakan orang yang mampu belum ada. Jadi saya
berpikir untuk memperpanjang masa pengabdian dari tadinya 55 tahun-56 tahun
menjadi 58 tahun. Tapi kebijakan ini tak bisa langsung, harus bicara dengan
serikat pekerja. Mereka belum setuju, ya belum kami putuskan. Saya
jelaskan kalau tidak setuju maka kita akan menghadapi kondisi kekurangan, kalau
nggak nanti diangkat orang asal jadi dampaknya begini. Biasanya dengan
penjelasan itu mereka bisa mengerti. Tadinya mereka takut, kapan mereka dapat
bagian, nanti senior-senior yang terus berkuasa. Tapi saya beri contoh, itu
nggak otomatis, ada kriteria secara transparan kami tunjukkan.
Selama Anda berkarier, keputusan apa yang paling dirasa fenomenal?
Keputusan mengembangkan kawasan industri dan pelabuhan di Manyar itu
bagi saya cukup berani karena hanya mengandalkan studi sebelumnya, tapi karena
ada beberapa mitra yang sanggup bersama membangun akhirnya saya putuskan jalan.
Apakah anda pernah salah ambil keputusan?
Mengangkat orang ternyata tak sesuai harapan. Saya mencoba perbaiki tapi
dia nggak bisa, saya ganti. Ada satu dua kali saya salah mengangkat orang.
Umumnya karena masalah integritas. Berkemampuan itu gampang tetapi orang yang
punya integritas itu tidak mudah. Jumlah karyawan kami ada sekitar 3.000-an.
Bagaimana Anda memandang karyawan?
Oh, saya betul-betul menyiapkan mereka, supaya saat saya pergi dari
Pelindo III mereka sudah siap.
Bagaimana cara membuat siap?
Ya, saya harus membentuk suatu grup yang militan di perusahaan. Susah
langsung menyentuh 3.000-an orang karyawan. Jadi harus ada grup-grup khusus
yang saya drill, makanya kalau ke kantor pusat itu terlihat masih ada karyawan
pukul 7-8 malam itu hal biasa. Mereka termasuk orang-orang yang sudah kena drill. Di
cabang-cabang, GM sudah saya pilih anak muda dengan kompetensi. Tahun ini saja
kami kirim 30 orang sekolah ke luar negeri. Tahun depan 30 orang lagi, sehingga
saat saya selesai Mei 2014, minimum 100 orang dididik di luar negeri ikut
program S2. Mereka saya harapkan meneruskan militansi di Pelindo
III. Pengiriman belajar ke luar negeri itu agar mereka belajar hidup.
Kalau ilmu sama saja, bukunya yang kamu baca sama dengan di sini. Saya
minta mereka tahu orang di luar negeri itu berorientasi pada perencanaan. Saya
mengalami waktu saya sekolah di sana.
Pola pembentukan SDM bisa dikatakan terobosan?
Nah, kami harus buat program yang afirmatif. Waktu saya di Pelindo IV,
saya buat program Putra Harapan. Merekrut anak-anak Papua 30 orang satu
angkatan, saya ambil dari enam cabang di Papua mulai dari Sorong, lalu
Jayapura, misalnya 5 orang anak-anak SMA yang nilainya bagus dan dia belum
punya rencana atau susah melanjutkan. Saya sekolahkan di Makassar di Balai
Ilmu Pelayaran. Kuliah dengan silabus kami soal ilmu kepelabuhanan. Begitu
tamat ditempatkan di pelabuhan cabang karena kami siapkan suatu saat dia
kembali lagi ke Papua.
Mengapa ini Anda lakukan?
Suatu saat saya mau cari GM dari Papua, susahnya setengah mati.
Ketemunya orang Jawa lagi, orang Jawa lagi. Jadi muncullah istilah, lepas dari
penjajahan Belanda masuk penjajahan Jawa. Makanya saya buat program
ini. Begitu saya masuk Pelindo III hal yang sama dihadapi. Kalau saudara
kita di NTT, Kalteng dites bareng dari Jatim, Jateng, tak mengimbangi juga, kalah
lagi. Nah, saya bikin program Putra Harapan lagi. Saya sengaja ambil dari
Banjarmasin, Sampit, Bali, jadi 60 orang saya bawa ke Semarang di BPLP. Saya
bikin program 1 tahun. Mereka diasramakan sehingga terbentuk
kedisiplinan. Waktu di Makassar memang cukup 1 tahun, tapi di Surabaya
saya masukan mereka ke STIAMAK (Sekolah Tinggi Ahli Manajemen Kepelabuhanan),
ini dimiliki oleh yayasan di Pelindo III. Jadi 60 orang itu pagi hari mereka
bekerja di Pelabuhan Tanjung Perak, sorenya kuliah. Ini guna meningkatkan SDM
masing-masing daerah. Kalau tidak, pimpinan orang Jawa semua, tak adil
lagi. Tahun ini kami buat lagi jadi jumlahnya 120 orang. Ini SDM baru yang
disiapkan, ditambah program pengiriman karyawan S2 ke luar negeri target 100
orang. Jadi Pelindo III punya karyawan dengan paradigma baru itu kurang lebih
10%-15% dari total personil Pelindo III yang diharapkan jadi motor perubahan.
Saat saya selesai, program ini saya serahkan ke direksi baru, kalau bagus
teruskan kalau kurang bagus perbaiki.
Apakah anda masih punya obsesi?
Yang saya ingin itu mulai jalan. Ada yang belum jalan, keburu nggak ya?
Itu Pelabuhan Benoa di Bali menjadi pelabuhan penghubungan Indonesia untuk
turisme. Saya baru berhasil meyakinkan pemerintah dan lembaga terkait untuk
membuat jalan tol walaupun sekarang yang dominan PT Jasa Marga.